HMI "Pewaris" Tradisi Intelektual




Tanggal 5 Februari merupakan tanggal yang bersejarah bagi mahasiswa yang tercatat sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Pasalnya tanggal tersebut merupakan tanggal lahir berdirinya HMI, tepatnya pada tanggal 5 Februari 1947. Bila di hitung dari awal berdirinya hingga sekarang maka saat ini HMI telah berusia 71 tahun, yang berarti usia HMI sudah tidak muda lagi. HMI sebagai organisasi mahasiswa Islam tertua di Indonesia tercatat dalam sejarah merupakan kelompok organisasi yang paling penting di Indonesia, sebagai pewaris tradisi intelektual. Tradisi intelektual HMI yang sudah sejak lama dilakukan oleh pendahulu kader HMI, sehingga mampu melahirkan tokoh-tokoh pemikir sekaliber Nurcholis Madjid, Johan Efendi, Ahmad Wahib, Dawam Rahardjo dll.

Namun dalam beberapa dekade terkahir khususnya pasca kepemimpinan Nurcholish madjid sebagai ketua umum PB HMI, HMI seolah-olah kehilangan “tradisi” intelektualnya atau iklim intelektualimse dalam tubuh HMI sudah mulai memudar, hal ini tidak lepas dari pengaruh budaya hedonis – pragmatis yang menjangkit kader HMI, selain itu politik a moral di tataran PB HMI dan banyaknya kader HMI yang terlibat dalam kegiatan politik praktis menambah sebab memudarnya tradisi intelektual HMI.

Padahal Tradisi intelektual ini sesungguhnya merupakan ruh bagi HMI dalam mencetak hamba-hamba Allah yang paripurna sebagai kader umat dan kader bangsa, sebagai man of future (insan cita). Greg Barton Dosen, Senior di Deakin University, Australia, dan peneliti gerakan pembaharuan pemikiran Islam Indonesia, menyimpulkan bahwa HMI adalah kelompok mahasiswa modernis paling penting di Indonesia (Hary Azhar Azis, dalam jurnal Insan Cita; 44). Bagi HMI tradisi membaca, diskusi, ataupun berdebat teori adalah makanan sehari-hari kader HMI. Bahkan dalam beberapa kasus rapat anggota komisariat yang dilakukan setiap tahun – tidak selesai hanya dengan tiga/empat hari, bahkan bisa sampai berminggu-minggu, karena forum selalu hidup dan penuh dialektika yang begitu rasional. Bagi kader HMI bertemu di warung makan, ngopi, bahkan rujakan selalu dimanfaatkan untuk bertukar informasi, diskusi, bahkan berdebat. Pikiran-pikiran kader HMI selalu radikal dan terbuka, gagasan-gagasan yang cemerlang dan segar. Hal itulah kemudian melahirkan iklim intelektualisme dalam tubuh HMI.

Iklim intelektualisme ini pada sejatinya tidak boleh hilang dalam tubuh HMI, bahkan harus terus diwariskan pada generasi-generasi selanjutnya sebagai ciri khas HMI sebagai organisasi yang mampu mencetak kader-kader yang berkualitas. Deliar Noer dalam bukunya Gerakan Modern Islam Indonesia memberikan pandangan bahwa HMI merupakan “pewaris” tradisi intelektual dari generasi sebelumnya dan mesti tetap berterusan sehingga berfungsi sebagai wadah yang mencetak/memproduksi generasi terpelajar baru, berlangsung secara berkesinambungan ditengah-tengah masyarakat Indonesia (Noer, 1980).

Oleh karenanya merawat tradisi intelektual dalam tubuh HMI merupakan sebuah keharusan bagi setiap generasi-generasi HMI, terlebih saat ini usia HMI sudah masuk 71 tahun. Jika diukur seperti usia manusia, maka HMI saat ini sudah berumur tua. Namun karena HMI selalu melakukan regenerasi maka hingga saat ini HMI tetap hidup dan eksis. Hanya saja eksistensi HMI sejatinya bukan semata-mata diukur dari adanya regenerasi,  akan tetapi generasi-generasi tersebut harus mampu merawat tradisi intelektual HMI. Sehingga HMI tetap berfungsi sebagai wadah yang mencetak kader-kader yang mempunyai kualitas insan cita dan mampu menjawab setiap tantangan zaman yang ada.

Selamat Milad HMI Ke -71
(5 Februari 1947 – 5 Februari 2018)

Nanang Ardi Sumarlan
Kader HMI Komisariat Syariah-Ekonomi UIN Malang
Previous
Next Post »