Perekonomian
nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi, disusun atas asaz
kekeluargaan dan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat
(Pasal 33 UUD
1945)
Sepenggal kalimat
tersebut merupakan amanah konstitusi terkait dengan sistem perekonomian
Indonesia dalam Pasal 33 UUD 1945 yang menunjukkan dengan gamblang bahwa
perekonomian Indonesia menggunakan sistem demokrasi ekonomi dengan pelaksanaanya
berdasarkan asaz kekeluargaan yang bertujuan untuk memakmurkan rakyatnya. Hal
tersebut memberikan kesimpulan bahwa perekonomian Indonesia hanya boleh
menggunakan sistem demokrasi ekonomi, yang berdasarkan kerakyatan-gotong royong
dan bertujuan untuk mensejahterakan.
Memahami
Demokrasi Ekonomi
Demokrasi ekonomi
menghendaki peran negara dalam sector ekonomi. Terutama sector-sektor strategis
dan yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak dikuasi oleh negara, seperti
penjelasan dalam pasal 33 Ayat 1, 2, 3 UUD 1945 yang berisi Cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh negara serta bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung di
dalamnya dikuasi oleh negara dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Bangun perusahaan yang sesuai itu adalah koperasi. Hanya perusahaan
yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak saja yang boleh ada di tangan
orang-seorang.
Sehubungan dengan hal
tersebut, Bung Hatta berulang kali mengatakan bahwa yang dimaksud dengan
“dikuasi oleh negara” dalam ayat tersebut, tidak berarti harus diselenggarakan
oleh pemerintah melalu jajaran birokrasinya, melainkan dapat diserahkan kepada
badan-badan lain yang dikelola secara otonom – perusahaan negara atau
perusahaan swasta, yang pekerjaannya dikendalikan oleh dan bertangungjawab
kepada pemerintah (Hatta, 1970).
Dari pasal dan penjelasan
Bung Hatta tersebut, sangat jelas bahwa negara mempunyai peran yang sangat
penting dalam pelaksanaan sistem perekonomian nasional, dalam artian, negara
berhak untuk intervensi dalam sistem perekonomian dengan catatan untuk
kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran rakyat.
Demokrasi ekonomi
menghendaki pemerataan kesejahteraan dalam masyarakat, sehingga tidak ada
kesenjangan dan ketimpangan yang akibatnya adalah kemiskinan dan kesensaraan.
Selain itu, karena demokrasi ekonomi dijalankan dengan asaz kekeluargaan maka
persamaan dan persaudaraan akan ada, sehingga individualisme tidak menjadi
paham bagi Indonesia. Berkaitan dengan demokrasi Bung Hatta pernah mengatakan
dalam demokrasi politik saja tidak dapat melakukan persamaan dan persaudaraan,
disebalah demokrasi politik harus pula diberlakukan demokrasi ekonomi, kalua
tidak manusia belum merdeka, persamaan dan persaudaraan belum ada (Hatta,).
Demokrasi
Ekonomi dalam Jeratan Ekonomi Liberalis- Kapitalis
Namun, sangat
disayangkan. Bahwa realisasi demokrasi ekonomi tersebut ternyata belumlah
sepenuhnya dijalankan. Demokrasi ekonomi ataupun konstitusi ekonomi secara
keseluruhan (Pasal 33 UUD 1945) dalam penerapannya dalam kebijakan pemerintah
saat ini telah mengalami pergeseran. Yang secara konstitusional Indonesia
menganut paham demokrasi ekonomi namun dalam pelaksanaannya cenderung
liberalis-kapitalis.
Hal tersebut dapat
dilihat dari kebijakan-kebijakan pemerintah yang cenderung menegasikan
kepentingan rakyat terlebih kalangan menengah kebawah. Katakan saja kebijakan
ekonomi jilid-12 tentang kemudahan untuk berbisnis, hingga setidaknya Indonesia
sampai pada peringkat 40 besar dunia dalam kemudahan berbisnis
(kompas,29/04/16), sepintas kebijakan ini seolah-olah memang terlihat berpihak
kepada rakyat, namun ketika dikaji benarkah demikian, benarkah rakyat secara
keseluruhan mampu menikmati kemudahan berbisnis? atau hanya untuk kalangan
elite tertentu?
Kemudian kebijakan yang hampir
serupa yakni, dibolehkannya pengelolaan pulau tak berhuni oleh investor/swasta
hingga 70%, dan negara hanya memiliki hak 30% (detik,17/01/17). Dengan dalih
untuk memberdayakan pulau tak berpenghuni dan memperbaiki perekonomian local
maupun nasional. Hal ini menunjukkan bahwa negara masih sangat tergantung pada
keterlibatan investor/swasta dalam pelaksaan sistem perekonomian nasional.
Ketika hal demikian benar-benar terealisasi dan kehendak negara kalah dengan
korporasi maka konsep berdikari dalam ekonomi yang dikemukakan Bung Karno tidak
akan pernah terjadi.
Selain itu, kebijakan
untuk menaikkan tarif pada sektor-sektor strategis seperti, BBM non subsidi,
Pajak kendaraan bermotor, dan listrik. Dinilai
bukan merupakan kebijakan yang berpihak kepada rakyat, terlebih kelas
menengah kebawah. Tidak dapat dipungkiri bahwa sektor-sektor tersebut dalam
konteks saat ini menjadi kebutuhan yang tidak dapat ditinggalkan dalam
kehidupan masyarakat. Sehingga menaikkan tarif pada sektor strategis berarti
akan menambah beban kebutuhan dalam kehidupan masyarakat.
Kebijakan-kebijakan
tersebut kemudian menunjukkan bahwa negara (pemerintah) dalam realisai
kebijakan ekonomi mengabaikan ekonomi konstitusi, sebagai dasar pelaksanaan
perekonomian nasional dan cenderung mengarah pada ekonomi liberalis-kapitalis.
Padahal ekonomi
liberalis-kapitalis menurut para ekonom idealis seperti Mubyarto, Edi Swasono,
Dawam Rahardjo, Rizal Ramli Revrisond Baswir dan lain-lain merupakan sistem ekonomi
yang bertentangan dengan ketentuan konstitusi ekonomi (Pasal 33 UUD 1945). Yang
secara nilai perekonomian nasional dijalankan berdasarkan demokrasi ekonomi dan
negara mempunyai peran dalam pelaksanaannya yang sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat.
Namun beda halnya dengan
cara berfikir ekonomi liberalis-kapitalis, peran negara harus bersifat minalis
tidak mengambil peran lebih dari yang dibutuhkan (Jimly, 2016). Negara hanya
mempunyai tanggungjawab untuk membuat regulator dan menjadi fasilitator para
pelaku ekonomi pasar. Inilah yang menjadi alasan ekonomi liberalis-kapitalis
bertentangan dengan ekonomi demokrasi dalam konstitusi ekonomi Indonesia.
Revolusi
Demokrasi Ekonomi
Secara etimologis,
revolusi berasal dari kata “to revolve” yang
berarti “kembali lagi” atau berulang kembali. (Latif, 2015). Namun dalam
revolusi sosial-politik, revolusi lebih dikenal sebagai perubahan yang
dilakukan secara cepat dan dengan cara kekerasan untuk merubah tatanan negara.
Revolusi demokrasi
ekonomi dalam hal ini bukan merubah demokrasi ekonomi, namun lebih tepatnya menghapus
sistem ekonomi liberalistik-kapitalistk yang cenderung individualis dan
eksploitatif dan mengembalikan realisasi sistem ekonomi sesuai dengan demokrasi
ekonomi. Dalam demokrasi ekonomi kesejahteraan bagi seluruh rakyat menjadi
tujuan utama. Jadi segala kebijakan apapun yang diambil oleh pemerintah
haruslah sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Pelaksanaan demokrasi
ekonomi hendaknya berasazkan kekeluargaan dan menjunjung tinggi prinsip efisiensi,
berkeadilan, berkesimnambungan, berwawasan lingkungan, kemandirian,
serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Hal tersebut hanya dapat
tercapai ketika negara sebagai pelaksana teknis perekonomian nasional paham dan
mampu menanamkan konsep demokrasi ekonomi sesuai dengan pasal 33 UUD 1945. Pemahaman
dan penanam nilai-nilai demokrasi ekonomi bisa dicapai dengan melakukan
kajian-kajian mendalam yang dilakukan secara intens dan berkelanjutan.
Selain itu, reformasi
birokrasi juga perlu dilakukan, kinerja birokrasi yang efektif dan efisien,
manajemen yang professional dan komprehensif, serta yang tak kalah penting
adalah integritas individu birokrasi. hal ini dibutuhkan bukan saja karena
untuk mempermudah pelaksanaan demokrasi ekonomi namun juga untuk menghindari
kebijakan yang transaksional dan tidak berkeadilan.
ConversionConversion EmoticonEmoticon