Buruh dan Ketimpangan

Buruh dan Ketimpangan
 Oleh Rekson Silaban[1]
Serikat buruh sejak awal kelahirannya di Inggris, tahun 1812, digagas sebagai wadah perjuangan untuk melawan eksploitasi kapitalis terhadap buruh.
Awalnya hanya ditingkat pabrik, tetapi berlanjut ke tingkat nasional dan global., mengikuti logika pergerakan arus modal. Tanpa kelahiran serikat buruh (SB), tidak ada institusi yang menemani buruh mendapatkan keadilan ekonomi. Sekalipun program karikatif insititusi dan sistem perpajakan dimasa itu coba ikut memperbaiki nasib buruh, tetapi tidak bisa efektif mengatasi kesenjangan ekonomi antara pemilik modal dan buruh. SB melakukan gerakan penyadaran, pengorganisasian massa dan opini untuk mempertanyakan katidakadilan sistem distribusi ekonomi.
Gagasan perjuangan SB menyebar cepat ke sejumlah negara, menimbulkan berbagai pergolakan. Dalam beberapa kasus, SB kerap dituduh provoktor kerusuhan dengan mengusung paham komunis. Inilah yang terjadi pada tragedi 1 Mei 1886 di Hay Mart, Chicago, AS. Perjuangan buruh yang menuntut jam kerja 8 jam per hari berakhir dengan provokasi kerusuhan sehingga pengadilan menjatuhkan hukuman gantung kepada para pejuang buruh. Sekalipun pengadilan menganulir hukuman-hukuman tersebut dan merehabilitasi nama baik para martir buruh yang meninggal.

Mereduksi ketimpangan ekonomi
namun, perjuangan buruh di Hay Mart menggetarkan perjuangan buruh di belahan dunia lain: Eropa. Kelompok ideologi sosialis dalam Konferensi II Sosialis Internasional di Paris tahun 1889 memutuskan 1 Mei sebagai Hari Buruh Internasional. Ironisnya, AS yang saat itu berupaya mengempang pengaruh sosialis menolak 1 Mei sebagai hari perayaan buruh dengan menggantinya menjadi hari senin pada minggu pertama September.
Sejarah terus bergulir karena beberapa tahun kemudian, tepatnya 1919, Organisasi Buruh Internasional (ILO) menetapkan pengaturan jam per hari ditetapkan sebagai konvensi internasional pertama ILO. Inilah prestasi awal SB yang mengawali ekspliotasi di tempat kerja. Konvensi ini sekarang diadopsi di seluruh dunia.
Menculnya wadah SB dan pengaturan jam kerja ternyata tak otomatis menurunkan kemiskinan buruh. Upah yang diterima buruh hanya cukup menghidupi buruh itu sendiri, tetapi tidak cukup untuk membiayai kehidupan keluargnya. Perjuangan buruh berlanjut ke isu upah minumum. Negara pertama yang memulainya adalah Selandia Baru (1894), selanjutnya menyebar ke  Australia (1904) dan menyebrang Eropa melalui Inggris (1909). Melalui upah minimum, negara ingin memastikan perlindungan terhadap buruh dari ekploitasi kapitalis. Penetapan upah minimum dilakukan melalui usulan tripartit untuk kemudian diputuskan pemerintah.
Mengapa perlu keterlibatan unsur non-pemerintah dalam upah minimum? Jawabannya: untuk mencegah keberpihakan pemerintah terhadap salah satu pihak baik buruh maupun pengusaha. Sebab dalam pengalaman sejarah, pemerintah di mana pun memiliki kecenderungn keberpihakan subyekrif. Sistem upah minimum di Indonesia yang saat ini mengenyampingkan peran SB dan pengusaha adalah penyimpangan dari kelaziman umum negara penganut sistem upah minimum. Sistem upah minimum menjadi salah satu temuan penting mencegah melebarnya ketimpangan pendapatan antara buruh dan majikan.
Kelahiran beberapa institusi diatas ternyata tak bisa mengatasi keserakan kapitalisme karena buruh terus menderita akibat ketidakadilan sistem ekonomi. Adalah Otto Van Bismarck, Kanselir Jerman tahun1889 yang meluncurkan gagasan jaminan sosial untuk buruh. Dia sebenarnya bukan tokoh sosial pendukung buruh, melainkan memperkiran potensi bahaya kemerosotan ekonomi Jerman dan potensi pemberontakan bur uh bila tak melahiran sistem yang mereduksi ketimpangan ekonomi melalui jaminan sosial. Gagasan jaminan sosial ini selanjutnya menjadi program inti perjuangan SB di seluruh dunia, yang kemudian diadopsi dalam konvensi ILO dan dipraktikkan di seluruh dunia. Konsep jaminan sosial saat ini sudah berkembang, tidak lagi sebatas pemenuhan kebutuhan hak asasi manusia, tetapi menjadi stabilisator otomatis untuk mencegah krisis ekonomi lebih buruk.
Tahapan terbaru dalam perkembangan hubungan industrial yang saat ini dipromosikan ke seluruh dunia adalah upaya untuk melakukan perundingan guna mendapatkan titik temu demi keberlanjutan pekerjaan dan usaha. Ini adalah konsep baru yang menegasi konsep lama “perjuangan kelas”. Suatu upaya memitigasi masalah hubungan jalur konfrintasi. Produk utama dialog sosial adalah lahirnya Perjanjian Kerja Bersama (PKB), yang berisi kesepakatan SB dan majikan atas hak kewajiban di tempat kerja.
Dari data yang tersedia di Kementrian Tenaga Kerja, hanya ada 12.700 PKB di Indonesia. Sementara usaha menengah, dan jumlah kelompok usaha besar sebanyak 4.968. Data ini menginformasi capaian sosial dialog di Indonesia masih rendah karena hanya baru 25 persen perusahaan (dengan katagori jumlah pekerja diatas 50 orang) yang bersedia berunding membuat PKB. Mayoritas perusahaan lainnya lebih suka penggunaan peraturan perusahaan atau sama sekali tidak memakai aturan. Tidak heran konflik hubungan industial masih kerap mewarnai hubungan industrial di Indonesia.
Pengalaman negara industri lain, kususnya di negara yang tergabung dalam OECD (Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi), menunjukkan fakta atas dual hal. Pertama, semakin besar jumlah PKB disuatu negara akan semakin sedikit jumlah konflik hubungan industrial. Sebab, dengan adanya perundingan PKB akan menganalisasi konflik menjadi hanya diurusan tingkat pabrik, tak mudah dimoblisasi untuk kepentingan politik. Kalau saja jumlah PKB di Indonesia ditingkatkan diatas 50 persen, pasti konflik industrial menurun drastis. Inilah jalan termudah bila Indonesia menginginkan hubungan industrial yang damai dan berkelanjutan.
Kedua, semakin tinggi tingkat partisipasi buruh menjadi anggota SB (strade union density), semakin tinggi kepatuhan hukum dan kesejahteraan buruh. studi yang dilakukan Bank Dunia Jakarta (2012) menyebutkan, buruh Indonesia yang tergabung dalam serikat buruh akan mendapat upah 20 persen lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak menjadi anggota serikat buruh.

Syarat minimum yang diperukan
Secara umum konsep social dialogue di Indonesia sebenarnya diterima banyak pihak. Sebab, berunding, bermusyawarah untuk mencapai mufakat, bukanlah konsep bru dalam kultur Indonesia, konsep ini hanya bisa jalan dengan tiga syarat minimum: adanya keterbukaan, niat baik, dan tingkat saling percaya yang tinggi.
Syarat inilah yang di banyak tempat belum bisa dipenuhi. Banyak pelaku tidak memiliki kultur untuk  berdialog, lebih menyukai pola lama, menyelesaikan masalah dengan menggunakan kekerasan, pemaksaan kehendak, pengadilan, suap dan sebagainya. Di tahap inilah saktgat diperlukan perubahan kultur unsur aktor-aktor tripartit agar konsep ini bermanfaat. Sebab, harus dipahami, tidak lagi diragukan bahwa hubungan kerja saat ini telah menjadi sangat bervariasi dan rumit, membuat sangat sulit bagi SB untuk mengorganisasi buruh secara kolektf.
Kecenderungan informaslisasi kerja (informal, alih daya, kontrak, sistem bagi hasil, pekerj musiman) akan mednominasi jenis pekerjaan di masa depan, khususnya sektor formal, baik sektor publik maupun swasta. Sebenarnya, di masa kolonial sampai pasca kolonial, situasi ini pernah terjadi. Kuantitas pekerja formal juga sangat minim. Berbeda dengan sektor pekerja formal yang ada saat itu cenderung bertumbuh, khusunya industri badan usaha milik negara. Pertumbuha itu menjadi bekal yang mempelopori pertumbuhan SB. Saat ini, situasinya berubah karena semua sektor sedang berupaya menurunkan penggunaan pekerja formal dengan upaya proyek efisiensi dan mesin.
Pesan terpenting bagi aktivis perburuhan pada perayaan kali ini adalah bagaimana memastikan misi SB sesuai peran historisnya, yaitu menyejahterakan buruh dengan menawarkan berbagai alternatif. Jangan berhenti sebatas watch gog: hanya manifetasi tanpa solusi.[2]



[1] Analisis Indonesia Labor Institute
[2]Kompas, Sabtu, 30 April 2016
Oldest